Kode Otentikasi telah dikirim ke nomor telepon melalui WhatsApp
Sebagai Bunda, tentu Bunda ingin anak tumbuh menjadi pribadi yang sopan, menyenangkan, dan mudah diterima dalam lingkungan sosial. Tidak ada yang salah dengan harapan itu. Namun, terkadang tanpa sadar, kita mengajarkan anak bahwa untuk dianggap baik, mereka harus selalu menyenangkan orang lain bahkan jika itu membuat mereka tidak nyaman.
Misalnya, saat kita menyuruh anak salim pada orang dewasa yang baru ditemuinya, atau meminta mereka tetap tersenyum dan duduk diam di tengah situasi yang membuat mereka tidak tenang. Kita mungkin berpikir sedang mengajarkan kesopanan, tetapi sebenarnya, bisa jadi kita sedang menanamkan pola pikir bahwa kenyamanan orang lain lebih penting daripada perasaan anak sendiri. Simak yuk Bun, penjelasannya bersama Bunda dan si Kecil!
Ketika anak diminta untuk tetap bersikap manis, ramah, dan menurut hanya demi menjaga citra "anak baik", anak bisa menyerap beberapa pesan keliru, seperti:
Mereka tidak berhak menentukan apa yang nyaman untuk tubuh mereka sendiri.
Mereka harus menomorsatukan kebutuhan orang lain di atas kebutuhan diri sendiri.
Mereka tidak boleh menolak, karena menolak dianggap tidak sopan atau membuat orang dewasa kecewa.
Dalam jangka panjang, anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang sulit berkata “tidak”, mudah merasa bersalah, dan cenderung menjadi people pleaser selalu merasa harus memenuhi harapan orang lain demi diterima atau tidak disalahkan.
Foto: Internet
Tanpa sadar, banyak dari kita melakukan hal-hal berikut dengan dalih sopan santun:
Memaksa anak salim atau mencium tangan orang yang baru dikenal.
Menegur anak karena tidak mau dipeluk oleh kerabat.
Menyuruh anak tetap tersenyum dan diam walau mereka tidak nyaman.
Menyalahkan anak yang menyendiri dan tidak mau bergabung dengan orang lain.
Padahal, setiap tindakan tersebut bisa meninggalkan dampak psikologis jika dilakukan terus-menerus. Anak bisa mulai kehilangan koneksi terhadap apa yang sebenarnya ia rasakan dan pikirkan, karena terbiasa menyesuaikan diri dengan keinginan lingkungan.
Daripada memaksa anak bertindak sesuai ekspektasi sosial, Bunda bisa mulai mengajarkan batasan pribadi dengan cara yang sehat dan tetap sopan. Berikut beberapa pendekatan yang bisa diterapkan:
Jika anak tidak ingin salim, tawarkan alternatif seperti melambaikan tangan atau mengucapkan salam dengan suara.
Jika anak tidak nyaman dipeluk, ajarkan bahwa menolak pelukan bukan berarti tidak sopan. Katakan, “Kamu boleh bilang tidak jika tidak nyaman.”
Validasi perasaannya. Katakan, “Perasaanmu penting. Kamu tidak harus menyenangkan semua orang, yang penting kamu tetap sopan.”
Dengan pendekatan ini, anak belajar bahwa batasan bukan bentuk ketidaksopanan, tetapi bagian dari menghargai diri sendiri dan orang lain secara sehat.
Foto: Internet
Batasan pribadi adalah keterampilan hidup yang sangat penting. Anak yang terbiasa memahami dan menyuarakan batasnya sendiri akan memiliki kemampuan untuk:
Menghargai diri sendiri. Anak tahu bahwa perasaannya valid dan pantas dihormati.
Berani berkata “tidak”. Kemampuan ini penting untuk mencegah pelecehan, manipulasi, atau tekanan dari teman sebaya di masa depan.
Membangun hubungan yang sehat. Anak tidak akan merasa harus mengorbankan kenyamanan pribadi demi diterima dalam suatu hubungan.
Dengan mengajarkan batasan sejak dini, Bunda sedang membantu anak tumbuh menjadi individu yang tangguh dan tidak mudah dimanfaatkan.
Banyak Bunda khawatir bahwa jika anak tidak diajarkan untuk menyenangkan orang lain, mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak sopan atau tidak peduli. Namun, penting untuk memisahkan antara etika sosial dan batas kenyamanan pribadi.
Sopan santun bisa tetap diajarkan tanpa harus memaksa anak melanggar batas kenyamanannya. Contohnya:
Jika anak tidak mau salim, Bunda bisa berkata, “Tidak apa-apa kamu belum mau salim. Kamu bisa ucapkan ‘halo’ atau melambaikan tangan.”
Jika kerabat ingin memeluk tapi anak menolak, Bunda bisa membantu menjelaskan, “Kami sedang mengajarkan anak mengenal batasan tubuhnya. Terima kasih atas pengertiannya.”
Dengan begitu, anak tetap belajar sopan santun, tanpa merasa terpaksa atau kehilangan kendali atas tubuh dan perasaannya.
Berikut beberapa hal sederhana yang bisa Bunda lakukan untuk mendukung anak membangun batasan yang sehat:
Dengarkan penolakan anak. Jangan langsung menghakimi ketika anak menolak suatu interaksi. Tanyakan alasan dan validasi perasaannya.
Berikan pilihan sopan. Misalnya: “Kamu bisa bilang ‘hai’ saja kalau belum mau salim.”
Latih komunikasi asertif. Ajarkan anak berkata, “Aku tidak nyaman,” atau “Aku tidak mau sekarang.”
Jadilah contoh. Anak belajar dari apa yang dilihat. Jika Bunda bisa menolak dengan sopan dan tegas, anak pun akan menirunya.
Beri afirmasi positif. Katakan, “Kamu berhak memilih apa yang nyaman untuk dirimu,” agar anak tumbuh dengan rasa aman dan percaya diri.
Foto: Internet
Tugas kita sebagai Bunda bukanlah menciptakan anak yang menyenangkan semua orang, tapi anak yang mengerti batasannya, tahu kapan harus berkata ‘tidak’, dan tetap bersikap sopan tanpa mengorbankan kenyamanan dirinya.
Ketika anak tahu bahwa ia tidak harus memaksakan diri agar disukai, ia akan tumbuh menjadi individu yang berani, sehat secara emosional, dan mampu membangun relasi yang tulus dan saling menghormati.