Kode Otentikasi telah dikirim ke nomor telepon melalui WhatsApp
Pernahkah Bunda melihat seorang Bunda yang marah besar hanya karena gelas yang tumpah, mainan yang berserakan, atau anak yang menolak makan? Mungkin kita berpikir, “Kenapa harus semarah itu?” atau “Hanya masalah kecil, kok reaksinya berlebihan?” Tapi sebenarnya, di balik amarah yang tampak sederhana itu, sering kali tersembunyi luka yang dalam dan lelah yang berkepanjangan.
Kemarahan seorang Bunda jarang sekali hanya tentang masalah di depannya. Ia sering kali merupakan puncak dari gunung es yang tak terlihat perasaan terabaikan, tekanan mental, kelelahan fisik, dan kekhawatiran yang terus menumpuk dalam diam. Simak penjelasannya bersama Bunda dan si Kecil!
Seorang Bunda bisa terlihat marah karena anak tidak kunjung tidur siang, tetapi yang sebenarnya terjadi adalah ia sedang bertarung dengan waktu. Ia harus menyelesaikan pekerjaan rumah, menyiapkan makan malam, dan mungkin masih harus bekerja dari rumah.
Kemarahan itu muncul bukan karena satu kejadian, melainkan karena Bunda sudah lama mengabaikan kebutuhan dirinya sendiri. Ia lapar tapi belum sempat makan, ingin mandi tapi belum bisa meninggalkan anak, ingin menangis tapi harus kuat karena semua bergantung padanya.
Foto: Internet
Bunda bisa saja bersama anak-anak sepanjang hari, tapi tetap merasa sangat kesepian. Tidak punya tempat bercerita, tidak ada yang mendengarkan keluh kesah, dan tidak ada yang bertanya, “Apa kabar hatimu hari ini?”
Di era media sosial, saat semua orang tampak bahagia dan rapi dalam balutan foto keluarga yang harmonis, kesepian seorang Bunda bisa semakin dalam. Ia mulai merasa tidak cukup baik, merasa gagal, dan terus membandingkan diri dengan Bunda-Bunda lain yang terlihat sempurna. Kesepian seperti ini tidak mudah dilihat, tapi sangat nyata dampaknya.
Seorang Bunda bisa merasa takut setiap saat takut membuat kesalahan, takut anaknya tidak tumbuh optimal, takut ia sendiri tidak menjadi Bunda yang baik. Ketakutan ini tidak selalu ditunjukkan, tapi mengiringi setiap keputusan harian: dari memilih makanan, pakaian, hingga metode parenting.
Saat semuanya tidak berjalan seperti yang diharapkan, perasaan gagal muncul. Dan sering kali, kemarahan adalah bentuk lain dari kekecewaan terhadap diri sendiri yang sudah terlalu lama dipendam.
Foto: Internet
Bunda sering menempatkan dirinya di urutan terakhir. Ia menunda makan, menunda tidur, bahkan menahan buang air karena terlalu sibuk. Ia memastikan semua kebutuhan keluarga terpenuhi, lalu baru memikirkan dirinya sendiri jika masih ada waktu dan tenaga.
Namun, saat ia lelah dan mulai emosi, justru ia yang sering disalahkan. Padahal, pengorbanannya luar biasa, hanya saja jarang terlihat karena dilakukan dalam senyap dan tanpa keluhan.
Banyak Bunda harus mengatur pengeluaran rumah tangga dari uang belanja yang pas-pasan. Menyusun strategi belanja agar cukup seminggu, menyesuaikan menu agar tetap bergizi meski hemat, dan berusaha menyembunyikan kekhawatiran agar anak tidak merasakan tekanan.
Dalam situasi seperti ini, emosi sangat mudah terpancing. Kemarahan bisa muncul dari hal kecil, bukan karena peristiwanya besar, tapi karena beban mental yang tak terbagi.
Ada juga Bunda yang menghadapi konflik dengan pasangan, mertua, atau keluarga lainnya, sambil tetap menjalankan tugas rumah tangga tanpa jeda. Ia memasak sambil menahan perasaan kecewa, menyuapi anak sambil menahan tangis, dan merapikan rumah sambil memendam rasa sakit.
Meski lelah secara fisik dan emosional, ia tetap menjalankan perannya. Namun jangan heran jika suatu saat emosinya meledak. Itu bukan karena ia ingin marah, tetapi karena tidak tahu lagi bagaimana cara meminta bantuan.
Banyak Bunda yang tidak punya support system. Tidak punya waktu untuk tidur siang, pergi ke salon, atau sekadar duduk minum teh tanpa gangguan. Bahkan untuk menyadari bahwa dirinya lelah pun kadang tidak sempat.
Kebutuhan akan istirahat dan me-time sering kali dianggap sebagai kemewahan, bukan hak. Dan ketika Bunda tidak tahu harus ke mana meminta bantuan, ia tetap berjalan sendiri hingga akhirnya merasa meledak karena tidak mampu lagi menahan.
Foto: Internet
Saat anak tantrum, Bunda dianggap tak becus mendidik. Saat rumah berantakan, ia dinilai malas. Padahal setiap hari ia berusaha keras melakukan yang terbaik, meski tubuhnya lelah dan jiwanya letih.
Rasa disalahkan terus-menerus bisa membuat Bunda merasa tidak cukup baik. Dan ketika beban sudah terlalu berat, kemarahan sering kali menjadi satu-satunya cara untuk meluapkan semua yang tertahan.
Jangan buru-buru menilai seorang Bunda yang terlihat marah karena hal kecil. Bisa jadi, itu adalah puncak dari kelelahan fisik dan emosi yang selama ini tak diberi ruang untuk diakui.
Bunda bukan superwoman. Ia adalah manusia yang bisa lelah, sedih, dan takut.
Berikan pelukan, bukan penilaian. Berikan ruang untuk istirahat, bukan tuntutan. Karena Bunda yang diberi kesempatan untuk pulih, akan lebih kuat dan penuh kasih dalam menjalankan perannya.