Kode Otentikasi telah dikirim ke nomor telepon melalui WhatsApp
Menjadi Bunda adalah anugerah besar yang datang bersama tanggung jawab yang tak kalah besar. Banyak Bunda yang merasa bersalah setelah memarahi anak, terutama saat menyadari bahwa kemarahan itu datang bukan karena anak berperilaku buruk, melainkan karena rasa lelah dan tekanan yang belum terselesaikan. Di balik setiap kemarahan, sering kali tersimpan kelelahan fisik dan mental yang jarang disadari.
Apakah benar anak selalu nakal sehingga kita sering marah? Atau bisa jadi penyebabnya ada pada kondisi emosi kita sendiri? Simak penjelasan selengkapnya bersama Bunda dan si Kecil!
Sering kali, kita marah bukan karena anak berbuat salah, tapi karena mereka tidak memenuhi ekspektasi yang tidak kita sadari. Kita berharap anak langsung mengerti perintah, tidak rewel, selalu tenang, dan bisa mengikuti aturan seperti orang dewasa. Kenyataannya, mereka masih belajar mengenali dunia dan dirinya sendiri.
Anak-anak belum memiliki kemampuan emosional yang matang. Mereka butuh waktu untuk memahami batasan, belajar mengatur emosi, serta mengembangkan perilaku yang sesuai. Ketika mereka menangis, menolak permintaan, atau tampak menantang, bukan berarti mereka nakal. Mereka sedang tumbuh dan membutuhkan bimbingan yang penuh kesabaran.
Foto: Internet
Kita sering merasa marah karena menuntut anak melakukan hal yang sebetulnya belum bisa mereka capai. Misalnya, kita menginginkan anak berusia tiga tahun duduk tenang saat makan, padahal usianya memang penuh eksplorasi dan rasa ingin tahu.
Contoh lainnya, saat anak sulit tidur padahal tubuhnya sudah lelah. Kita melihatnya sebagai bentuk pembangkangan, padahal bisa jadi ia belum mampu mengenali rasa kantuk atau terlalu banyak stimulasi. Proses pengaturan diri ini butuh waktu bertahun-tahun, dan normal jika anak masih kesulitan.
Ada saat-saat ketika anak hanya melakukan hal sederhana seperti menumpahkan air atau bertanya berulang kali namun tetap membuat kita marah besar. Ini mungkin bukan karena perilaku anak, tapi karena kondisi emosi kita sedang tidak stabil. Stres pekerjaan, kurang tidur, beban rumah tangga, atau perasaan tidak didukung dapat menumpuk dan meluap dalam bentuk kemarahan.
Ini adalah tanda bahwa kita juga membutuhkan ruang untuk istirahat dan pemulihan. Sebagai manusia, Bunda pun berhak merasa lelah. Menyadari hal ini bisa membantu kita lebih bijak merespons anak, serta mengenali kapan diri kita perlu jeda.
Menjadi Bunda bukan hanya tentang memenuhi kebutuhan fisik anak seperti makan dan pakaian. Lebih dari itu, anak membutuhkan rasa aman, dukungan emosional, dan kasih sayang yang konsisten. Kehadiran yang utuh—baik fisik maupun batin—menjadi pondasi penting bagi tumbuh kembang anak.
Jika Bunda mampu mengelola emosi sendiri dengan baik, anak pun akan belajar mencontoh bagaimana menghadapi perasaan yang sulit. Ini akan membentuk mereka menjadi pribadi yang tangguh secara emosional di masa depan.
Foto: Internet
Bagi Bunda yang ingin memperbaiki kebiasaan marah, berikut ini beberapa langkah praktis yang dapat diterapkan:
Kenali Pemicu Pribadi
Coba perhatikan kapan Bunda paling mudah tersulut emosi. Apakah saat lapar? Saat anak tidak tidur siang? Atau setelah hari yang panjang? Dengan mengenali pola ini, Bunda bisa mempersiapkan diri lebih baik.
Ambil Jeda Saat Emosi Meninggi
Ketika mulai merasa marah, tarik napas dalam dan beri waktu untuk menenangkan diri. Jeda singkat ini bisa mencegah kata-kata atau tindakan yang disesali kemudian.
Gunakan Afirmasi Positif
Ulangi kalimat seperti “Anakku masih belajar” atau “Aku bisa menghadapinya dengan tenang.” Afirmasi ini membantu mengubah cara pikir dan menurunkan ketegangan.
Berbagi Beban dengan Pasangan atau Keluarga
Jangan merasa harus mengurus segalanya sendiri. Komunikasikan kebutuhan untuk beristirahat atau sekadar berbicara, agar emosi tidak menumpuk.
Utamakan Pelukan, Bukan Teguran Keras
Saat anak rewel, pelukannya bisa lebih ampuh dari bentakan. Pelukan memberi rasa aman, menenangkan emosi, dan membangun ikatan yang kuat.
Foto: Internet
Tidak ada Bunda yang sempurna. Anak tidak membutuhkan kesempurnaan dari kita, mereka butuh kasih sayang, konsistensi, dan kehadiran yang hangat. Yang penting adalah terus belajar dan berusaha menjadi lebih baik setiap harinya.
Anak tidak akan mengingat apakah rumah selalu rapi atau apakah makanannya mewah. Mereka akan mengingat bagaimana perasaan mereka saat bersama kita. Apakah mereka merasa dicintai, didengarkan, dan dihargai?
Marah adalah emosi yang wajar. Namun, ketika kita memahami akar dari kemarahan itu—baik kelelahan, stres, atau ekspektasi yang tidak realistis kita dapat lebih mengelolanya dengan bijak. Menghadapi anak dengan empati dan kesadaran akan emosi diri sendiri adalah salah satu cara terbaik untuk menciptakan suasana rumah yang lebih hangat dan penuh cinta.
Dengan mengenali kebutuhan emosional kita sendiri, Bunda juga membantu anak tumbuh dalam lingkungan yang penuh dukungan dan pengertian.