Kode Otentikasi telah dikirim ke nomor telepon melalui WhatsApp
Setiap Bunda pasti berharap anaknya tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri, mampu mengambil keputusan sendiri, dan memiliki kemandirian yang kuat. Namun, dalam praktiknya, masih banyak pola pengasuhan yang tanpa disadari justru berdampak sebaliknya. Kebiasaan kecil yang dilakukan setiap hari bisa memberikan pengaruh besar terhadap cara anak membentuk karakter dan menyikapi kehidupan.
Beberapa kebiasaan Bunda yang tampak sepele ternyata bisa membuat anak menjadi plin-plan, yaitu ragu-ragu saat dihadapkan pada pilihan atau tanggung jawab. Dalam jangka panjang, anak mungkin akan kesulitan menentukan arah hidup, tidak yakin pada pilihannya, dan cenderung bergantung pada orang lain.
Agar hal tersebut tidak terjadi, yuk Bunda kenali enam kebiasaan yang bisa membentuk anak menjadi pribadi yang ragu-ragu, dan pelajari cara mencegah atau memperbaikinya. Simak penjelasannya secara lengkap bersama Bunda dan si Kecil.
Bunda sering kali memberikan perintah secara spontan, seperti “Ayo cepat makan!” atau “Jangan main di situ!”, tanpa memberi alasan yang jelas. Meskipun terlihat efisien, kebiasaan ini bisa membingungkan anak, karena mereka tidak memahami logika di balik perintah tersebut.
Dampaknya: Anak menjadi patuh secara pasif tanpa tahu alasan dari tindakannya. Hal ini bisa membuat mereka kesulitan mengambil keputusan sendiri karena terbiasa menerima arahan tanpa memahami konteks.
Solusi: Sertakan penjelasan yang sederhana dan sesuai usia. Misalnya, “Yuk makan sekarang supaya nanti nggak terlalu malam dan kamu masih punya waktu bermain.”
Inkonsistensi dalam pola asuh, seperti menerapkan aturan yang berubah-ubah tergantung suasana hati Bunda, dapat menciptakan kebingungan bagi anak. Contoh lain adalah Bunda yang melarang sesuatu, tetapi kemudian membiarkan hal itu terjadi di lain waktu tanpa penjelasan.
Dampaknya: Anak tidak tahu mana aturan yang sungguh-sungguh harus dipatuhi dan mana yang bisa diabaikan. Hal ini menumbuhkan keraguan dan ketidakpastian dalam pengambilan keputusan.
Solusi: Terapkan aturan yang konsisten dan berlaku untuk seluruh anggota keluarga. Hindari membuat pengecualian tanpa alasan yang jelas.
Memberikan dua pilihan seperti “Mau pakai baju biru atau kuning?” memang baik untuk melatih anak membuat keputusan. Namun, jika setelah anak memilih lalu pendapatnya diabaikan atau ditolak, anak bisa merasa tidak dihargai.
Foto: Internet
Dampaknya: Anak jadi tidak percaya diri dan merasa pilihannya tidak berarti. Mereka menjadi takut memilih karena mengira keputusan mereka tidak akan dianggap penting.
Solusi: Berikan pilihan yang benar-benar terbuka dan hargai keputusan anak, selama itu masih dalam batas aman dan wajar.
Keinginan agar anak berhasil adalah hal wajar. Namun, bila disertai dengan tekanan dan harapan tinggi yang tidak realistis, anak bisa tumbuh dengan rasa takut gagal. Misalnya, menuntut nilai sempurna atau harus selalu menjadi juara.
Foto: Internet
Dampaknya: Anak menjadi takut berbuat salah, dan cenderung tidak berani mengambil keputusan sendiri karena takut tidak memenuhi ekspektasi Bunda.
Solusi: Fokus pada proses belajar, bukan hanya hasil. Ajarkan bahwa kegagalan adalah bagian dari perjalanan dan justru bisa menjadi pelajaran berharga.
Anak yang sudah berusaha membuat keputusan sendiri, berani mencoba hal baru, atau mengekspresikan pendapatnya, layak mendapatkan pujian. Namun, jika Bunda jarang memberikan apresiasi, anak bisa kehilangan semangat untuk inisiatif.
Dampaknya: Anak merasa usahanya tidak dihargai dan akhirnya memilih diam atau membiarkan orang lain mengambil keputusan untuknya.
Solusi: Berikan pujian yang tulus, bahkan untuk pencapaian kecil. Hal ini bisa menumbuhkan rasa percaya diri dan semangat untuk mencoba lagi.
Bunda kadang tidak tega melihat anak kesulitan, lalu langsung mengambil alih tugas yang sedang dikerjakan. Padahal, niat baik ini bisa merampas kesempatan anak untuk belajar menyelesaikan masalah.
Dampaknya: Anak merasa tidak mampu, tidak percaya diri, dan terbiasa bergantung pada Bunda dalam banyak hal.
Solusi: Biarkan anak mencoba terlebih dahulu. Beri dukungan dari jauh dan bantu hanya jika benar-benar diperlukan. Latih anak menyelesaikan tugas sesuai usianya.
Anak-anak sedang berada dalam tahap belajar memahami dunia dan diri mereka sendiri. Ketika mereka tidak diberi ruang untuk mencoba, berpikir, atau membuat keputusan sendiri, mereka tidak memiliki cukup pengalaman untuk membangun keyakinan diri. Pola asuh yang terlalu mengatur, kurang konsisten, atau kurang empati dapat menghambat pertumbuhan karakter yang kuat.
Rasa percaya diri dan kemampuan membuat keputusan tidak muncul begitu saja. Butuh lingkungan yang mendukung, memberi ruang eksplorasi, dan memvalidasi pengalaman anak agar mereka tumbuh menjadi pribadi yang mandiri dan berani.
Berikut beberapa langkah sederhana yang bisa mulai Bunda terapkan di rumah:
Libatkan anak dalam pengambilan keputusan sehari-hari, seperti memilih menu makan siang atau buku bacaan.
Jelaskan alasan di balik setiap aturan atau permintaan yang diberikan.
Tunjukkan apresiasi setiap kali anak mencoba mengambil keputusan.
Hindari tekanan yang berlebihan dan beri ruang untuk gagal.
Konsisten dalam menerapkan aturan dan nilai-nilai keluarga.
Beri kesempatan anak menyelesaikan tugas sendiri sesuai kemampuan usianya.
Foto: Internet
Kebiasaan kecil dalam pola pengasuhan bisa berdampak besar terhadap pembentukan karakter anak. Anak yang tumbuh dalam lingkungan yang penuh tekanan, minim empati, atau tidak konsisten akan lebih mudah menjadi pribadi yang ragu-ragu dan tidak percaya diri. Sebaliknya, pola asuh yang memberi ruang, memberikan contoh yang konsisten, dan menghargai proses akan membantu anak menjadi individu yang mandiri dan tegas. Mari Bunda, mulai dari hari ini kita evaluasi kembali kebiasaan-kebiasaan kecil dalam mengasuh agar anak tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan yakin pada dirinya sendiri.