Kode Otentikasi telah dikirim ke nomor telepon melalui WhatsApp
Setiap Bunda tentu berharap anak-anaknya tumbuh dalam kondisi sehat secara fisik dan mental. Namun, dalam kenyataan, tidak semua anak mampu mengekspresikan tekanan batin atau rasa emosionalnya dengan terbuka. Ada sebagian yang justru memilih melukai diri sendiri secara diam-diam sebuah perilaku yang dikenal sebagai self-harming.
Self-harming bukan hanya sekadar tindakan impulsif, tetapi sering kali menjadi cara bertahan hidup dari tekanan emosi yang dirasa terlalu berat. Jika tidak dikenali sejak dini, hal ini bisa berdampak serius terhadap kesehatan mental anak dalam jangka panjang. Oleh karena itu, penting bagi para Bunda, terutama Bunda muda, untuk memahami tanda-tanda dan pendekatan yang bijak dalam menghadapinya. Simak informasi selengkapnya bersama Bunda dan si Kecil!
Self-harming adalah perilaku menyakiti diri sendiri secara sengaja, seperti menyayat kulit, memukul diri sendiri, membakar kulit, atau menarik rambut. Meskipun bukan selalu bertujuan untuk mengakhiri hidup, perilaku ini merupakan tanda bahwa anak sedang mengalami tekanan emosional yang sangat besar dan tidak tahu cara sehat untuk menyalurkannya.
Self-harm sering kali menjadi jalan pelampiasan bagi anak yang mengalami rasa bersalah, kesepian, tidak dihargai, atau kehilangan kontrol atas hidupnya. Tindakan ini bisa memberikan rasa "lega sesaat", tapi meninggalkan luka fisik dan psikologis yang dalam.
Foto: Internet
Sebagai Bunda, penting untuk waspada dan peka terhadap perubahan perilaku anak. Beberapa tanda umum self-harming yang perlu diperhatikan antara lain:
Luka Fisik Tanpa Penjelasan Jelas
Luka sayat, goresan, bekas bakar, atau memar di bagian tubuh seperti lengan, paha, atau perut yang sering tertutup pakaian.
Sering Mengenakan Pakaian Tertutup
Anak yang melakukan self-harm cenderung memakai baju lengan panjang dan celana panjang bahkan saat cuaca panas, sebagai cara menyembunyikan luka.
Menolak Ganti Baju di Tempat Umum
Enggan berganti pakaian di ruang ganti sekolah atau saat pelajaran olahraga bisa jadi sinyal bahwa anak sedang menyembunyikan sesuatu.
Kebiasaan Menarik Rambut atau Memukul Diri
Self-harm juga bisa muncul dalam bentuk trichotillomania (menarik rambut secara kompulsif) atau memukul diri sendiri saat sedang stres.
Perubahan Pola Makan
Anak bisa tiba-tiba kehilangan nafsu makan atau makan berlebihan sebagai respons terhadap tekanan emosional yang tidak tersampaikan.
Olahraga Secara Berlebihan
Jika dilakukan tidak untuk kesehatan tetapi untuk menghukum diri atau melampiaskan perasaan negatif, ini bisa termasuk bentuk self-harming.
Beberapa faktor pemicu self-harming antara lain:
Tekanan dari lingkungan: beban akademis, perundungan, atau konflik keluarga.
Kesulitan mengekspresikan emosi: anak tidak tahu cara bercerita atau takut dianggap lemah.
Gangguan kesehatan mental: seperti kecemasan, depresi, trauma masa kecil, atau harga diri rendah.
Lingkungan digital: konten negatif dari media sosial juga bisa memengaruhi anak menormalisasi tindakan self-harming.
Penting disadari bahwa anak yang melakukan self-harm tidak mencari perhatian, tapi mencoba meredakan rasa sakit emosional yang sangat dalam.
Saat menemukan tanda-tanda ini, wajar bila muncul rasa panik. Namun, langkah pertama yang paling penting adalah tidak bereaksi dengan marah atau menghakimi. Berikut pendekatan yang lebih bijak:
Tunjukkan Empati
Dekati anak dengan kasih sayang, bukan dengan interogasi. Ciptakan ruang aman untuk mereka terbuka. Contoh kalimat yang bisa digunakan:
"Mama lihat akhir-akhir ini kamu terlihat tidak seperti biasanya. Kalau kamu siap bercerita, Mama siap mendengar kapan saja ya."
Validasi Emosi Anak
Jangan menganggap remeh atau menyalahkan anak karena tindakannya. Katakan bahwa merasa sedih, marah, atau bingung itu wajar, dan semua emosi layak untuk dirasakan dan dibicarakan.
Ajak Konsultasi ke Psikolog
Pendampingan profesional sangat disarankan. Psikolog anak atau remaja bisa membantu menemukan akar permasalahan serta memberikan terapi yang sesuai.
Kurangi Tekanan Lingkungan
Evaluasi ulang rutinitas anak. Apakah mereka terlalu lelah? Terlalu ditekan secara akademis? Pastikan rumah menjadi tempat ternyaman untuk pulang, bukan sumber tekanan tambahan.
Foto: Internet
Bangun Rutinitas yang Sehat
Rutinitas tidur yang cukup, asupan nutrisi seimbang, aktivitas fisik, dan waktu bebas layar sangat berpengaruh terhadap kestabilan emosi anak.
Sebagai Bunda, mari kita lebih aktif menciptakan lingkungan yang suportif:
Luangkan waktu berkualitas setiap hari, meskipun hanya 15 menit untuk ngobrol santai
Batasi paparan konten negatif di media sosial
Ajarkan anak cara mengekspresikan emosi, misalnya lewat menulis, menggambar, atau aktivitas fisik
Jadilah pendengar aktif: biarkan anak bercerita tanpa langsung menyela atau menasihati
Jika anak menunjukkan luka baru terus-menerus, menyendiri ekstrem, berbicara soal menyakiti diri, atau kehilangan minat pada aktivitas yang dulu disukai, segera konsultasikan ke profesional. Deteksi dini sangat penting untuk mencegah kondisi memburuk.
Foto: Internet
Self-harming pada anak adalah sinyal kuat bahwa mereka sedang berjuang dalam diam. Jangan abaikan. Peran Bunda sangat besar dalam proses pemulihan anak, bukan hanya sebagai pengasuh, tapi juga sebagai teman emosional dan pelindung batin mereka. Dengan komunikasi yang penuh kasih, empati, dan pendampingan tepat, kita bisa membantu anak mengatasi rasa sakitnya tanpa harus menyakiti diri. Yuk, jadikan rumah tempat teraman bagi anak untuk merasa dimengerti, dicintai, dan diterima apa adanya.